Dampak Konversi Lahan Terhadap Kejadian Penyakit Busuk Pangkal Batang (BPB) pada Tanaman Kelapa Sawit
Diposting Selasa, 08 Juli 2025 09:07 amOleh: Donatus Tia Harfan ( Calon POPT Ahli Pertama BPTP Pontianak)
Kalimantan Barat mengalami transformasi lahan yang cukup besar dalam tiga dekade terakhir, terutama melalui konversi perkebunan dari karet menjadi kelapa sawit. Fenomena yang terjadi sejak 1990-an ini ditandai dengan banyaknya petani di wilayah pedalaman yang mengganti tanaman karet mereka dengan kelapa sawit untuk mengejar keuntungan yang lebih tinggi akibat pergeseran permintaan dan harga pasar. Sekitar 50% petani di Kabupaten Sekadau yang beralih dari karet ke kelapa sawit mengakui adanya perbedaan yang signifikan dalam hal potensi pendapatan (Semedi, 2022; Herudin et al., 2021).
Akan tetapi, di balik dampak positif ekonomi yang timbul dari aktivitas konversi lahan tersebut, tersembunyi risiko besar terhadap keberlanjutan ekosistem tanah dan kesehatan tanaman. Konversi cepat tanpa perencanaan yang matang dapat mengganggu keseimbangan komunitas mikroba tanah, merusak struktur dan fungsi ekologis bawah permukaan, serta menghilangkan fase pemulihan alami yang biasa terjadi pada sistem pertanian tradisional. Kajian oleh Susanti et al. (2019) menunjukkan bahwa konversi dapat mengubah saluran energi dalam jaring makanan tanah sehingga melemahkan kemampuan tanah untuk menekan pertumbuhan penyakit. Hal ini menjadikan lahan hasil konversi lebih rentan terhadap serangan patogen tanah yang dapat menyebabkan penyakit pada tanaman baru.
Salah satu penyakit utama yang dapat menyerang tanaman kelapa sawit akibat alih fungsi lahan ini adalah penyakit busuk pangkal batang (BPB) oleh Ganoderma boninense. Perkembangannya yang relatif lambat dengan gejala yang tampak pada tahap akhir serangan membuat penyakit ini disebut sebagai silent killer tanaman kelapa sawit (Naher et al., 2013). Gejala khas penyakit BPB meliputi akumulasi daun tombak, klorosis menyeluruh pada tajuk, pengeringan serentak anak daun yang dimulai dari pelepah bawah, dan kemunculan tubuh buah G. boninense pada bagian pangkal batang (Gambar). Penyakit ini umumnya dikendalikan dengan beberapa metode berupa kultur teknis pada masa awal penanaman melalui sanitasi inokulum dan pembuatan lubang tanam besar, serta pengendalian hayati memanfaatkan mikroorganisme antagonis seperti Trichoderma spp. (Priwiratama et al., 2014).

Hubungan antara konversi lahan dan kejadian BPB semakin nyata ketika melihat data di lapangan. Dua penelitian tentang tingkat kejadian BPB di lahan perkebunan kelapa sawit bekas karet di Sumatera Utara oleh Wijayanti et al. (2024) dan Priwiratama et al. (2020) masing-masing menunjukkan nilai sebesar 20,15% dan 10,15%. Meskipun tidak tergolong ekstrem, angka tersebut tetap menunjukkan bahwa sejarah penggunaan lahan memiliki korelasi dengan tingkat kerentanan tanaman akibat serangan G. boninense mengingat sifat penyebarannya. Basidiospora yang dihasilkan berkembang secara dinamis membuat Ganoderma mampu bertahan lama dan memiliki daya infeksi yang tinggi (Tung et al., 2018). Adapun jika sudah terbentuk tubuh buah menandakan tanaman tidak dapat diselamatkan dan harus dimusnahkan untuk memutus penyebaran ke tanaman di sekitarnya serta mencegah kerugian yang lebih besar.
Karakteristik serangan G. boninense di atas membuat pengendalian BPB secara efektif lebih sulit dilakukan terutama pada lahan konversi tanpa pengolahan tanah yang baik. Lahan tersebut berpotensi memiliki kelembapan yang tinggi dan menjadi sumber inokulum karena adanya residu patogen di dalam tanah sehingga memperbesar peluang kejadian penyakit di kemudian hari. Oleh karena itu, penting untuk memahami seluruh faktor yang berpengaruh terhadap risiko timbulnya BPB di lahan perkebunan sawit termasuk dengan mempertimbangkan sejarah penggunaan lahan secara cermat.
DAFTAR PUSTAKA
Herudin, R., Suryanto, T., dan Abidin, M. Z. 2021. Konversi usahatani karet menjadi usahatani kelapa sawit di Kecamatan Belitang Hilir Kabupaten Sekadau, Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian, 18(1).
Naher, L., Siddiquee, S., dan Kalsom Yusuf, U. 2015. Issues of Ganoderma spp. and basal stem rot disease management in oil palm. American Journal of Agricultural Science, 2(3): 103–107.
Priwiratama, H., Prasetyo, A. E., dan Susanto, A. 2014. Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang Kelapa Sawit secara Kultur Teknis. Jurnal Fitopatologi Indonesia, 10(1): 1-7.
Priwiratama, H., Prasetyo, A. E., dan Susanto, A. 2020. Incidence of basal stem rot disease of oil palm in converted planting areas and control treatments. Paper presented at IOP Conference Series: Earth and Environmental Science.
Semedi, P. 2022. Rubber, oil palm and accumulation in rural West Kalimantan, 1910s-2010s. Paramita: Historical Studies Journal, 32(1): 33-44.
Susanti, W.I., Pollierer, M.M., Widyastuti, R., Scheu, S., dan Potapov, A. 2019. Conversion of rainforest to oil palm and rubber plantations alters energy channels in soil food webs. Ecology and Evolution, 9(16): 9027–9039.
Tung, H. J., Ong, C. E., Goh, Y. K., Goh, Y. K., dan Goh, K. J. 2018. Survival and pathogenicity of monokaryotic and dikaryotic Ganoderma boninense following three different preservation methods. Transactions on Science and Technology, 5(1): 46–52.
Wijayanti, E., Prasetyo, A.E., Priwiratama, H, Rozziansha, T.A.P., Eris, D.D., Mulyatni, A.S., Lubis, A.F., dan Rambe, S.P. 2024. Kejadian Penyakit Busuk Pangkal Batang pada Tanaman Kelapa Sawit Menjelang Tanam Ulang di Sumatra Utara Bagian Barat. Warta PPKS, 29(1): 45-60.